Rabu, Juni 08, 2011

Analisa Pengembangan Masyarakat Program WISMP APL-1

1.   Pendekatan Pengambangan Masyarakat (Community Development) Pada Program WISMP APL-I

Secara umum community development dapat didefinisikan sebagai kegiatan pengembangan masyarakat yang diarahkan untuk memperbesar akses masyarakat untuk mencapai kondisi social-ekonomi -budaya yang lebih baik apabila dibandingkan dengan sebelum adanya kegiatan pembangunan, dalam hal ini kegiatan pengelolaan jaringan irigasi, sehingga masyarakat di tempat diharapkan menjadi lebih mandiri dengan kualitas kehidupan dan kesejahteraan yang lebih baik.
Pada program WISMP perkumpulan petani pemakai air diharapkan menjadi subjek menuju kemandirian, terutama dalam proses kegiatan pengelolaan jaringan irigasi dengan dukungan pemerintah menuju peningkatan akses taraf hidup menuju kemandirian.
Program Community Development memiliki tiga karakter utama yaitu berbasis masyarakat masyarakat (community based), berbasis sumber daya setempat (local resources based) dan berkelanjutan (sustainable), ketiga karakteristik ini pula yang diterapkan pada program WISMP.
Dalam setiap program yang berbasic pada community biasanya memiliki dua sasaran yang ingin dicapai yaitu: sasaran kapasitas masyarakat dan sasaran kesejahteraan.
Sasaran pertama yaitu kapasitas masyarakat, peningkatan kapasitas masyarakat petani pemakai air yang nantinya tergabung dalam suatu wadah perkumpulan petani pemakai air (P3A) dapat dicapai melalui upaya pemberdayaan (empowerment) agar anggota masyarakat dapat ikut dalam proses kegiatan partisipatif, kesetaraan (equity) dengan tidak membedakan status dan keahlian, keamanan (security), berkelanjutan (sustainability) dan kerjasama (coorperation), kesemuanya berjalan secara simultan, dan memberikan keterbukaan akses pada masyarakat dalam informasi dan organisasi.
Sektor pertanian dan sumber daya air di Indonesia dengan saat ini masih memberikan kontribusi yang tinggi terhadap proses pembangunan pertanian terutama Ketahanan Pangan Nasional.
Berbicara tentang masalah community development ini, tampaknya bukan hanya di dunia pertanian dan irigasi yang melakukan hal ini. Berbagai departemen dalam pemerintahan tampaknya telah memiliki arah yang sama untuk mengembangkan hubungan yang lebih harmonis dengan komunitas local. Hal ini sebenarnya merupakan komitmen bersama banyak pihak sebagai implementasi paradigma pembangunan berkelanjutan.
Dalam paradigma pembangunann berkelanjutan dimana diartikan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kamampuan generasi masa depan untuk memenuhi kebutuhannya, mempunyai 3 pilar utama (pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan & berkelanjutan) yang bersumber dari dua gagasan penting yaitu :
1.    Gagasan kebutuhan, khususnya kebutuhan esensial masyarakat petani, yang harus diberi prioritas utama.
2.    Gagasan keterbatasan yang bersumber pada kondisi teknologi dan organisasi sosial masyarakat terhadap kemempuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan masa kini dan hari depan.
Jadi dalam paradigma ini tujuan pembangunan pertanian dan irigasi harus diupayakan dengan berkelanjutannya yang artinya tidak harus memenuhi kebutuhan saat ini tanpa memperdulikan kebutuhan masa yang akan datang, akan tetapi mengusahakan agar berkelanjutan pemenuhan kebutuhan tersebut pada masa selanjutnya pada generasi kemudian dengan mengutamakan kebutuhan masyarakat dan keterlibatan potensi local yang terakomodir melalui penyusunan skala prioritas secara mandiri yang merupakan hak ulayat masyarakat setempat melalui kegiatan pengelolaan irigasi partisipasif yang memberikan stimulant bagi masyarakat untuk bergairah dalam  berorganisasi yang berujung pada kemandirian  hanya dalam aspek pengelolaan irigasi partisiatif, tetapi social, ekonomi dan kelembagaan.
Program WISMP diharapkan menjadi kendaraan mesyarakat petani pemakai air  untuk menjawab kedua gagasan tersebut di atas.

2.  Koreksi Dalam Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Irigasi
          Pada pokoknya kelembagaan akan sampai kepada tiga hal, yaitu siapa pihak yang terlibat (baik individual ataupun social group), bagaiman tata hubungan diantara mereka (aspek struktur), dan bagaimana aturan main di antara mereka (aspek kultur). Aspek kultur dan structural merupakan dua komponen utama dalam setiap kelembagaan. Kelembagaan telah menjadi strategi penting dalam program pembangunan selama ini. Namun demikian, pengembangan kelembagaan belum pernah mencapai hasil yang optimal, yang disebabkan oleh berbagai factor, terutama karena pemahaman dan strategi kurang tepat.
          Kelembagaan pada program WISMP, terdiri dari tiga elemen utama, yaitu: elemen pemerintah, elemen masyarkat dan elemen gabungan dari keduanya, yang nantinya disebut sebagai elemen kelembagaan pengelolaan irigasi.
          Setidaknya terdapat sembilan bentuk kekeliruan yang selama ini dijumpai di lapangan dalam aspek pengelolaan pengembangan kelembagaan,
1.    Kelembagaan-kelembagaan yang dibangun terbatas  hanya ntuk memperkuat ikatan-ikatan horizontal, maupun lemah dalam ikatan vertikal. Kekeliruan ini kemudian diperbaiki dengan membentuk kelembagaan gabungan yaitu KOMISI IRIGASI.
2.    Kelembagaan dibentuk lebih untuk tujuan distribusi bantuan dan memudahkan control bagi pelaksanaan program, bukan untuk peningkatan social capital masyarakat secara mendasar mengherankan jika sebuah kelembagaan akan bubar sesaat setelah ditinggalkan pelaksananya.
3.    Struktur keorganisasi yang dibangun relative seragam, yang bias kepada bentuk kelembagaan lain yang menimbulkan overlapping dengan kelembagaan lain.
4.    Meskipun kelembagaan sudah dibentuk, namun pembinaan yang dijalankan cenderung individual terbatas kepada pengurus dan tokoh-tokoh dengan prinsip “trickle down effect”, bukan social learning approach.
5.    Pengembangan kelembagaan selalu menggunakan jalur structural, dan lemah dari pengembangan aspek kulturalnya. Struktur organisasi dibangun lebih dahulu, namun tidak diikuti perkembangan aspek kulturalnya (visi, motivasi, semangat, manajemen, dan lain-lain).
6.    Introduksi kelembagaan lebih banyak melalui budaya material dibanding nonmaterial, atau merupakan perubahan yang materialistic.
7.    Introduksi kelembagaan baru telah merusak kelembagaan lokal yang ada sebelumnya, termasuk merusakkan hubungan-hubungan horizontal yang telah ada.
8.    Jika dicermati secara mendalam, pada hakikatnya, pengembangan kelembagaan masih lebih merupakan jargon politik daripada kenyataan yang ril di lapangan.
9.    kelembagaan pendukung untuk usaha pertanian dan pengelolaan irigasi tidak dikembangkan dengan baik, karena struktur pembangunan yang sektoral.
          Kekeliruan ini dikarenakan sosialisasi yang kurang optimal di setiap lini baik pemerintah maupun masyarakat, keraguan pemerintah terhadap masyarakat, dan sumber daya masyarakat dijadikan alas an proses pengembangan masyrakat.
          Implementasi Kelembagaan Pengelolaan Irigasi (KPI) nantinya diharapkan tidak akan mengulangi kesalahan-kesalahan tersebut di atas. Untuk itu, para pelaksana perlu memahami tentang “Analisa Kelembagaan”.



3.    Beberapa Prinsip Pengembangan kelembagaan
          Didasarkan atas perkembangan sosiopolitik yang terjadi, maka pengembangan kelembagaan perlu memperhatikan kecenderungan-kecenderungan yang semakin kuat. Setidaknya perlu diperhatikan tiga  aspek dalam pengembangan kelembagaan, yaitu konteks otonomi daerah, pengembangan kelembagaansebagai sebuah bentuk pemberdayaan, dan kelembagaan sebagai jalan untuk mencapai kemandirian lokal.
          Penyelenggaraan otonomi daerah ditekankan pada dua aspek yang sesungguhnya merupakan prinsip dasar kemandirian local, yaitu menciptakan ruang bagi masyarakat untuk mengembangkan dirinya, dan mengupayakan pemberdayaan masyarakat agar mampu memanfaatkan ruang yang tercipta. Jadi, antara otonomi daerah, pemberdayaan, dan kemandirian local merupakan tiga hal yang saling mengait secara fungsional.

3.1 Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Irigasi dalam Konteks Otonomi Daerah
          Kelembagan pengelelolaan irigasi diharapkan janga sampai terjebak kembali pada kekeliruan masa lalu, yang memecahkan masalah pembangunan dalam hal ini pembangunan irigasi melalui penyusunan suatu perencanaan yang bersifat umum dan ditetapkan secara menyeluruh (grant scenario) di seluruh wilayah indonesia. Mensosialisasikan rancangan atau skenario yang bersifat umum selalu sulit dilaksanakan dan lebih banyak bersifat mekanistik, atau lepas dari kondisi yang sangat spesifik sehingga mematikan inisiatif masyarakat setempat yang akibat akhirnya justru bersifat kontraproduktif.
          Skenario yang bersifat umum itu, yang pada umumnya disusun dan difikirkan oleh sekelompok orang saja secara terpusat, merupakan pendekatan blue print yang banyak mengandung kelemahan (Uphoff, 1986). Masyarakat petani pemakai air Indonesia, di samping bervariasi dalam kemajemukan sistem, nilai, dan budaya; juga memiliki latar belakang sejarah yang cukup panjang dan beragam pula. Hal ini dicermati dalam memilih prinsip dasar pengembangan dan pengelolaan irigasi partipatif kepada masyarakat pemakai air di Indonesia secara integral.
          Kelembagaan pengelolaan irigasi, termasuk organisasi, dan perangkat-perangkat aturan dan hukum memerlukan penyesuaian sehingga peluang bagi setiap warga masyarakat untuk bertindak sebagai aktor dalam pembangunan yang berontikan gerakan dapat tumbuh di semua bidang  kehidupannya. Pembangunan masyarakat/masyarakat pemakai air untuk menciptakan kehidupan yang demokratis, baik dalam kegiatan dan aktivitas ekonomi, serta aktivitas sosial budaya dan politik haruslah bebasis pada beberapa prinsip dasar yang dikemukakan di atas, juga pada latar belakang sejarah, dan kemajemukan etnis, sosial, budaya , dan ekonomi yang telah hadir sebelumnya di setiap masyarakat.
          Elemen-elemen tatanan, baika yang berupa ”elemen lunak” (soft element) seperti manusia dengan sistem nilai, kelembagaan, dan teknostrukturnya, maupun yang berupa ”elemen keras” (hard  element) seperti lingkungan alam dan sumberdayanya, merupakan entitas yang dinamis yang senantiasa menyesuaikan diri atau tumbuh dan berkembang.
          Dalam bagian ”menimbang” pada UU No. 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, disebutkan bahwa otonomi daerah di arahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
          Kita perlu mempelajari apa sesungguhya makna filosofi dari prinsip keotonomian? Pada tingkat rendah, otonomi mangacu pada individu sebagai perwujudan dari hasrat untuk bebas (free will) yang melekat pada diri-diri manusia sebagai salah satu anugrah paling berharga dari Sang Pencipta (Basri, 2005). Free Will inilah yang memungkinkan individu-individu yang otonom ini selanjutnya akan membentuk komunitas yang otonom, dan akhirnya bangsa yang mandiri serta unggul. Jadi, pada hakikatnya, individu-individu yang otonom menjadi modal dasar bagi perwujudan otonomi daerah yang hakiki. Pada dasar ini, maka penguatan otonomi daerah harus membuka kesempatan yang sama dan seluas-luasnya bagi setiap pelaku, bagi setiap individu.
          Dalam literatur luar, konsep yang dekat dengan otonomi daerah adalah ”local government”. Menurut Wolman and Goldsmith (1990), local Government Administration (LGA) adalah: ”..... the government’s ability to have an independent impact on the welfare of the residents of the local jurisdiction”.
Jadi,
Disini ditekankan kepada perlunya  mencapai kemampuan dan kemandirian masyarakat. Sedikit lebih luas, Boyne (1996) mendefinisikan menjadi: “….. powers the ability to innovate, experiment, and develop policies that can vary by
Jurisdiction “. Selanjutnya, Kirlin (1996) merubah “government” menjadi “governance”, dan mendefinisikannya sebagai “….capacity as the ability to make and carry through collective choices for a geographically define group of people”.
          Pada definisi Kirlin terlihat perlunya keterlibatan masyarakat setempat. Kemampuan pemerintah terbentuk melalui dukungan institusi-institusi lain seperti aturan yang konstitutional, pemerintah lain yang selevel, lembaga pengadilan, dan infrastruktur kewarganegaraan, yang digambarkan dengan luas meliputi unsur-unsur media massa, assosiasi kewaganegaraan, dan kelompok-kelompok komunitas (Chapman, 1999).
          Dalam sistem apapun, secara prinsip ada tiga bentuk utama yang dapat dilakukan negara kepada warganya. Secara berurutan adalah assistance, coorperation, dan service; tergantung kepada potensi dan kondisi masyarakatnya, terutama kemampuan dalam pemecahan masalah. Dalam assistance, pemerintah menjadi pelaksana (executing and implementing role). Pada coorperation, peran negara dan masyarakat seimbang; sedangkan pada pola service, negara lebih pasif.
          Otonomi daerah, atau otonomi lokal, merupakan hal yang penting karena mampu memainkan setidaknya tiga peran yaitu: untuk memaksimumkan nilai, sebagai lembaga yang memberi peluang kepada akses rakyat terhadap pemerintah yang diharapkan terakomodir dalam lembaga KOMISI IRIGASI dalam program WISMP ini, dan sebagai kompetitor terhadap lembaga lain sehingga kondisi efisiensi dapat dicapai. Karena ragamnya persoalan antar wilayah maka tak ada pendekatan yang ”one solution fits all” dalam pengembangan kelembagaan. Secara konseptual, otonomi daerah merupakan wadah yang baik untuk berkembangnya civil society dan menjamin berjalannya mekanisme checks and balances antara pemerintah dengan warganya.

3.2  Pegembangan Kelembagaan Pengelolaan Irigasi Sebagai Bentuk Pemberdayaan.
          Pemberdayaan (empowerment) yang berasal dari kata dasar ”empower” bermakna sebagai ”to invest with power, especially legal power or officially authority”, atau “…..taking control over their lives, setting problems and developing selfreliance”. Pemberdayaan dapat dilakukan terhadap individual, kelompok social, maupun terhadap komunitas.
          Dari sisi paradigma, pemberdayaan lahir sebagai antitesis dari paradigma developmentalis. Dalam Payne (1977), pada intinya pemberdayaan adalah to help clients gain power of decision and action over their owns lives by reducing the effect of social or personal blocks to exercising power, by increasing capacity and self confidence to use power and by transferring power from the environment to clients”. Pemberdayaan mengupayakan  bagaimana individu, kelompok, atau komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka. Inti utama dari pemberdayaan adalah tercapainya “kemandirian”.                                                                                              
          Konsep empowerment mendapat penekanan yang berbeda-beda di berbagai negara, sesuai dengan kondisi dan kebutuhan mereka.
Pemahaman tentang pemberdayaan telah melewati antar waktu dan antar kultur. Satu hal yang esensial dalam pemberdayaan adalah ketika individu atau masyarakat diberikan kesempatan untuk membicarakan apa yang penting untuk perubahan yang mereka butuhkan. Ini akan berimplikasi kepada sisi supply dan demand tentang pembangunan, perubahan lingkungan dimana masyarakat miskin hidup, dan membantu mereka membangun dan mengembangkan karakter mereka sendiri. Pemberdayaan bergerak mulai dari masalah pendidikan dan pelayanan kepada politik dan kebijakan ekonomi.
Pemberdayaan berupaya meningkatkan kesempatan pembangunan, mendorong hasil-hasil pembangunan, dan memperbaiki kualitas hidup manusia. Tidak ada satu bentuk kelembagaan khusus untuk pemberdayaan, namun ada elemen-elemen tertentu agar upaya pemberdayaan dapat berhasil.
Beberapa kunci dalam pengembangan kelembagaan untuk pemberdayaan :
Adanya akses kepada informasi, sikap inklusif dan partisipasi, akuntabilitas, dan pengembangan organisasi lokal.
Bidang apa yang dapat digarap dalam pekerjaan pemberdayaan? Setidaknya ada lima bidang yang dapat digarap, yaitu penyediaan pelayanan dasar, peningkatan kapasitas pemerintahan lokal, peningkatan kapasitas pemerintah nasional, pengembangan akses untuk bantuan keadilan dan hukum.
Terdapat dua prinsip dasar yang seyogyanya dianut di dalam proses pemeberdayaan :
Pertama. Adalah menciptakan ruang atau peluang bagi masyarakat untuk mengembangkan dirinya secara mandiri dan menurut cara yang dipilihnya sendiri. 
Kedua, mengupayakan agar masyarakat memiliki kemampuan untuk memanfaatkan ruang atau peluang yang tercipta tersebut.
Berkaitan dengan prinsip tersebut, maka kebijaksanaan yang perlu ditempuh oleh pemerintah pada setiap tingkatan, mulai sari nasional sampai kabupaten/kota adalah penataan kelembagaan pemerintah, dalam arti menghilangkan struktur birokrasi yang dititikberatkan pada pemberian pelayanan pada masyarakat dan peraturan perundangan yang memudahkan dan atau meningkatkan aksesibilitas masyarakat di segala aspek kehidupan. Kebijakan ini diterjemahkan misalnya dibidang ekonomi berupa peningkatan aksesibilitas masyarakat terhadap factor-faktor produksi dan pasar, sedangkan di bidang sosial politik berupa tersedianya aspirasinya (Voice). Upaya pemberdayaan masyarakat dalam kehidupan politik dan demokrasi, diperlukan cara pandang atau pendekatan baru, karena perubahan yang terjadi pada beberapa dekade terakhir telah melahirkan barbagai realitas yang tidak mungkin dimengerti atau dipahami apalagi dikelola dengan menggunakan paradigm atau cara pandang lama. 

3.3 pengembangan kelembagaan pengelolaan irigasi dalam upaya mewujudkan kemandirian lokal
Dari sisi pemerintah, inisiatif lokal dibutuhkan karena pemerintah belum mampu memberikan pelayanan yang memadai, sementara kemampuan perencanaan pusat juga dalam kondisi lemah.
Dari sisi masyarakat lokal, di antaranya adalah karena masih banyaknya sumberdaya yang belum termanfaatkan, yang dipandang akan lebih efektif apabila menggunakan strategi lokal. Pemberdayaan berarti mempersiapkan masyarakat untuk memperkuat diri dan kelompok mereka dalam berbagai hal, mulai dari soal kelembagaan, kepemimpinan, sosial ekonomi, dan politik dengan menggunakan basis kebudayaan mereka sendiri.
Pendekatan pembangunan melalui cara pandang kemandirian lokal mengisyaratkan bahwa semua tahapan dalam proses pemberdayaan harus dilakukan secara terdesntralisasi. Upaya pemberdayaan dengan prinsip sentralisasi, deterministic, dan homogen adalah hal yang sangat dihindari. Karena itu upaya pemberdayaan yang berbasis pada pendekatan desentralisasi akan menumbuhkan kondisi otonom, dimana setiap komponen akan tetap eksis dengan berbagai keragaman (diversity) yang dikandungnya. Upaya pemberdayaan yang berciri sentralistik tidak akan mampu memahami karakteristik tatanan. Sebaliknya upaya pemberdayaan yang dilakukan secara terdesentralisasi akan mampu mengakomodasikan berbagai keragaman tatanan. Cara pandang “kemandirian lokal” adalah suatu alternative pendekatan pembangunan yang dikembangkan dengan berbasis pada pergeseran konsepsi pembangunan, serta pergeseran paradigma ilmu pengetahuan. Oleh karena itu diharapkan dapat diposisikan sebagai masukan bagi perumusan pendekatan dan atau paradigma pembangunan Indonesia.
Pemberdayaan masyarakat khususnya pemberdayaan politik masyarakat, mengandung dua pendekatan yang seakan-akan saling bertolak belakang atau merupakan paradox pemberdayaan masyarakat. Pada satu sisi, pemberdayaan masyarakat seyogyanya diletakkan pada upaya untuk meningkatkan kualitas harmoni kehidupan seluruh warga masyarakat, akan tetapi pada sisi yang lain pemberdayaan dimadsudkan untuk meningkatkan kulaitas interkoneksitas (fungsioanal) antara satu tatanan dengan tatanan yang lainnya yang berada diluar tatanan masyarakat. Interkoneksitas seperti ini memilki potensi besar untuk merusak kondisi paradox ini maka penyusunan skenario yang berlaku umum (grand scenario) di seluruh wilayah sangat tidak mungkin. Kebijaksanaan pemberdayaan masyarakat haruslah bersifat kasuistik, dan kontekstual, yang disusun otonom masing-masing daerah.
Perumusan format upaya pemberdayaan masyarakat haruslah berbasis pada prinsiop dasar, yaitu bagaimana menciptakan peluang bagi masyarakat untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat untuk memanfaatkan peluang tersebut. Dalam konteks politik, prinsip ini merupakan wujud pemberian pilihan (coice) kepada masyarakat dan juga meningkatkan kemampuan masyarakat untuk menyuarakan aspirainya (voice). Implementasi prinsip ini jelas tidak harus baku atau standar, akan tetapi akan tergantung pada kondisi masing-masing masyarakat.
Kemandirian lokal menunjukkan bahwa pembangunan lebih tepat bila dilihat sebagai proses adaptasi-kreatif suatu tatanan masyarakat dari pada sebagai serangkaian upaya makanistis yang mengacu pada satu rencana yang disusun secara sistematis, kemandirian lokal juga menegaskan bahwa organisasi seharusnya dikelola dengan lebih mengedepankan partisipasi dan dialog dibandingkan semangat pengendalian yang ketat sebagaimana dipraktekkan selama ini (Amien, 2005).
Sebagaimana pendekatan pembangunan masyarakat dan pertanian pada umumnya, pendekatan kelembagaan masih menjadi salah satu strategi penting dalanm Program WISMP, sebagaimana terbaca dalam dokumennya.
Permasalahan kelembagaan dalam program WISMP APL-1 relatif lebih kompleks, karena melibatkan banyak instansi, lembaga, dan stakeholders mulai dari tingkat pusat sampai daerah. Karena itu, kemampuan mengenali permaslahan kelembagaan yang sesuai, merupakan satu permasalahan yang esensial dalam pengembangna program WISMP di masa mendatang.
Dari, seluruh pihak yang terlibta dalam program, perlu menyadari permasalahan ini, sehingga factor kelembagaan tidak menjadi salah satu kendala dalam implementasi program nantinya.
Untuk itu, pengembangan kelembagaan baik lembaga masyarakat maupun pemerintah juga gabungan mesti dijiwai oleh setidaknya tiga prinsip yang satu sama lain saling terkait erat, yaitu pengembangan kelembagaan dalam konteks pembeedayaan, dan penguatan kemandirian lokal. 






















DAFTAR PUSTAKA
-          Amien, Mapadjantji. 2005. Kamandirian Lokal. Gramedia Pustaka Uatam, Jakarta.
-          Boyne, George A. 1996. ’Compeition and Local Government: A Public Choice.
-          Kirlin, John J. 1996. “ The Big Question of Public Administration ini a Democrazy, Public Administration Review 56,6 (September/October): 416-4320.
-          Payne, Malcom. 1997. Modern Social Work Theory. Second Edition. MacMillac.
-          Syahyuti. 2003. Bedah Konsep Kelembagaan: Strategi Pengembangan dan Penerapannya dalam Penelitian Paertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
-          Taylor, D.R.F dan Mckenzie 1992. Development From Withins. London Routledge. Chapter 1 dan 10.
-          Uphoff, Norman. 1986. Local Institutional Development: An Analytica Sourcebook With Cases. Kumarian Press.
-          Wolman, Harnold, and Micheal Goldsmith. 1990. “Local Autonomy as a Meaningful Analytic Concept, “Urban Affairs Quarterly 26,1 (septenber): 3-27.
-          World Bank. 2005. Institutional Analysis.
-          World Bank. 2005. Social Capital, Empowerment, and Community Driven Development.

Tidak ada komentar: